Laman

Senin, 24 Januari 2011

Untitled Yet

“Apa keputusanmu sudah tidak dapat dirubah Tia?” Hari itu Tatia mengunjungi ibunya. Berat memang rasanya bagi Tatia, tapi cepat atau lambat dia harus memberitahukan keluarganya. Dan dia memulainya dari sang ibu.
“Untuk saat ini, ini yang Tatia yakini Bu..... Tatia yakin kalian semua nantinya pasti akan mengerti keputusan Tatia 
”Tapi bagaimana dengan keluarga kita ? keluarga Deandra ? Apa kamu sudah siap menyandang status janda?”
”Setidaknya itu lebih baik, daripada istri tua kan bu ?”
Berlinang air mata ibu Tatia memeluk anak sulungnya. Anaknya yang tak pernah mau menunjukkan kepedihan hatinya pada orang lain. Bahkan pada ibunya sendiri.
”Apa salahmu nak, apa salahmu hingga nasibmu seburuk ini ?”
”Tidak ada yang salah bu. Deandra sudah berusaha menjadi suami yang baik, begitu juga dengan Tatia. Hanya saja mungkin jodoh kami hanya sampai disini.”  Alasan yang sangat klise batin Tatia.
“Seandainya saja kami dulu tidak ngotot menjodohkan kalian……” Ibu Tatia melepaskan pelukannya, menatap anaknya dengan penuh penyesalan.
“Tidak ada yang perlu disesali bu. Setidaknya Tatia pernah merasakan menjadi seorang istri. Tatia belajar bagaimana menjadi istri yang baik” Tatia menghapus air mata ibu tercintanya. Ibu yang tak pernah meninggalkanya. Ibu yang selalu memberikannya kekuatan untuk melangkah……
“Kapan kalian akan…….” Tak sanggup rasanya ibu Tatia melanjutkan kata-katanya. Terlintas dalam ingatannya, betapa cantiknya Tatia  di hari pernikahannya. Belum pudar semua kenangan itu, dan sekarang putrinya sudah harus menyandang status janda.
‘’Minggu depan kami akan menandatangani surat cerai bu......dan mulai saat itu kami resmi bercerai ‘’
Sekali lagi ibu Tatia memeluk putri tercintanya, mencoba mengambil sebagian beban yang dipikul putrinya.
“Bu…maafkan Tatia ya….”
Semakin erat ibu Tatia memeluk Tatia dan air matanya mengalir tanpa henti.

Sudah seminggu Tatia merasa pusing dan tidak enak makan. Awalnya dia mengira hal itu hanya karena rasa tegangnya menjelang hari perceriannya. Kalau saja hal tesebut tidak terlalu menggangunya dia tidak akan mau pergi ke dokter. Dan sendainya saja dia tau apa yang akan diketahuinya setelah dia pergi ke dokter, mungkin dia tidak akan mau pergi setidaknya sebelum dia menandatangani surat percerainnya.
”Apa anda yakin Dok ?”
”Yakin sekali bu, apa ibu tidak menyadarinya usia kandungan ibu sudah memasuki minggu ke delapan ?”
Minggu ke delapan ? itu berarti sudah 2 bulan. Dua bulan yang lalu. Masih terbayang di benak Tatia kejadian dua bulan yang lalu. Kejadian dimana Deandra mabuk dan.........
Oh Tuhan bahkan Tatia masih ingat bagaimana Deandra memanggilnya dengan nama Lia, nama wanita lain, wanita yang Deandra bayangkan bahkan saat meniduri Tatia. Masih terasa bagaimana pahitnya kepedihan yang Tatia rasakan saat itu.
”Kandungan ibu sangat lemah, ibu harus menjaganya baik-baik kalu tidak mau kehilangan kandungan ibu”
Kata-kata dokter menyadarkan Tatia dari lamunanya. Dokter mulai menuliskan resep tanpa memperhatikan wajah Tatia yang pias.
Apa, apa yang harus aku lakukan Tuhan? Seminggu lagi, tinggal seminggu lagi dia harus bercerai. Bagaimana mungkin sekarang dia mengandung anak dari laki-laki yang ingin dia tinggalkan.
Tatia tidak ingat kejadian selanjutnya. Yang dia ingat dokter menyerahkan resep, mengoceh tentang beberapa hal tanpa sedikitpun masuk kedalam ingatan Tatia. Tatia memutuskan untuk tidak kembali ke kantor. Dia ingin berada dirumah, rumah yang dulu sempat menjadi rumah impiannya bersama Dendra. Mengurung diri di kamar, kamar yang menjadi saksi kepdehian demi kepedihan yang harus Tatia lalui.
Seorang anak, anak Deandra. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah dia harus mengurungkan niatnya, menerima tawaran Deandra untuk berpoligami, melanggar prinsip yang selama ini dia pegang teguh? Atau dia harus tetap bercerai, menururti egonya, dan menggugurkan anak ini? Tidak , anak ini anaknya juga. Ada darahnya dalam tubuh anak itu. Tatia mengelus perutnya, merasakan adanya kehangatan disana, menggugah naluri keibuannya.
”Jangan takut sayang, kita akan melalui semua ini bersama...” air mata Tatia mengalir begitu saja ketika megatakan kata-kata itu sambil tetap memegang perutnya. Bukan kepedihan yang dia rasakan, bukan rasa sakit yang dia temukan, hanya rasa haru dan kasih sayang yang membaur menjadi satu yang memberikanya kekuatan baru untuk tetap menjalankan hidupnya.

”Tia..halo..jadi makan siang ? Laper nih!” Ocehan Shinta membuat Tatia tersadar dari lamunannya. Lamunanya tentang bagaimana dulu dia jatuh cinta pada Deandra. Cinta yang tumbuh semenjak dia kecil, memimpikan Deandra sebagai pangeran yang akan membuat mimpi-mimpinya menjadi kenyataan.
”Sory..sory..sabar dikit kenapa sih! Emang kita mau makan siang dimana?”
”Sumpah deh ak paling benci denger pertanyaan satu ini!! Kamu ada tempat baru ngga? Bosen banget makan di tempat biasa.”
”Mmmm...ta kita cari tempat yang agak sepian gitu ya, ak mau ngomong sesuatu ma kamu”
”Ngomong apaan sih? Gawat amat!”
”Pokoknya ntar ak ceritain. Yuk!”

”What.....!! Hamil?! Yang bener, tapi Tatia kamu kan mau cerai kok bisa gini sih?”
”Aku tau...,tapi........ughhhh.....”
”Kamu sudah ngomong ke Deandra?”
”Ga, ga ada yang tau selain kamu dan sampai aku mau ga boleh ada satu orang pun yang boleh tau!”
”Bahkan ibu kamu?”
Wajah Tatia tampak ragu, tapi akhirnya dia menganggukkan kepala dengan mantap.
”Kamu gila ya?Trus apa yang akan kamu lakukan?aborsi?”
”Ga!Aku mau anak ini. Aku mau dia lahir, aku mau membesarkan dia, aku...”
”Tapi kamu ga mau bapaknya tau dia ada”
”Please ta.......jangan buat aku ngerasa tambah bersalah”
”Tatia, Deandra berhak tau. Dia ayah dari anak itu, dia harus bertanggung jawab”
”Aku tau Ta, tapi aku juga ngga mau anakku lahir dan tumbuh dalam keluarga palsu. Deandra ngga akan pernah mencintai aku. Sekarang atau nanti. Aku juga ingin anak ini tumbuh dalam keluarga yang utuh, aku ingin mengorbankan perasaanku, menjalani pernikahan palsu, menjadi istri yang yang sekedar status. Tapi di sisi lain, aku juga punya kehidupan sendiri, aku ngga akan sanggup melihat Deandra bersama wanita lain, bersama satu-satunya wanita yang ada dalam hatinya. Aku nggak sanggup mengakui kalau aku sanggat mencintai dia.” Tatia memalingkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang selama ini ditahanya. Dia tidak ingin menunujukkan betapa berat semua beban yang harus dipikulnya.
”Tia....” Shinta mengelus bahu Tatia, mencoba menyalurkan sedikit energi untuk sahabat tercintanya. Hampir enam belas tahun mereka bersabat. Tatia sudah seperti buku terbuka bagi Shinta, selalu bisa dibaca. Tapi Tatia tidak pernah mau mengakuinnya. Selalu berusaha menjadi tegar. Dalam hati Shinta sangat membenci Deandra, lelaki yang selalu dicintai Tatia, selalu dipuja Tatia. Satu-satunya lelaki dalam hidup Tatia. Shinta ingat ketika Tatia mengatakan akan menikah dengan Deandra, dijodohkan oleh orangtuanya. Waktu itu Shinta ingin sekali menyadarkan Tatia, membangunkanya dari mimipi-mimpi indah yang sudah terlanjur dibangunnya. Saat itu Tatia tau kalau Deandra sudah mempunyai kekasih, tapi Tatia mencoba menyakinkan dirinya bahwa Deandra lambat laun akan bisa mencintainya setelah mereka menikah. Shinta juga sangat ingin mempercayainya, tapi jauh di lubuk hatinya, entah kenapa dia punya firasat semua itu tak akan pernah terjadi. Deandra tak akan pernah berpaling pada Tatia. Tapi saat itu dia tak ingin merusak kebahagiannya sahabatnya. Tidak tega merusak binar-binar bahagia di wajah Tatia. Sekarang semuanya firasatnya terbukti. Dan sekarang dia tak sanggup melihat begitu banyak kepedihan di wajah Tatia.
”Tia...,aku akan selalu mendukung semua keputusanmu. Lakukanlah yang menurutmu baik. Aku akan selalu ada untuk membantumu...”
”Aku tau...,makasi ya Ta”
”Ok..katakan sudah berapa usia calon keponakanku?”
”Kata dokter delapan minggu...kandunganku juga sangat lemah, aku harus menjaganya baik-baik”
”Kalau begitu kamu harus makan yang banyak dan kita harus segera memesan makanan kalau tidak mau ditelpon bos karena kita terlambat datang. Ugh...aku sudah bosan melihat tampang yang selalu merengut..” Shinta mengerutkan kedua alisnya dan mengerucutkan bibirnya, mencoba menirukan wajah bos mereka ketika sedang marah. Tatia tersenyum, sesaat dia bisa melupakan semua masalahnya dan harus mencoba melupakannya. Demi anaknya, demi satu-satunya alasan bagi dirinya untuk terus melanjutkan hidupnya.

Malam sebelum percerainnya Tatia tidak bisa tidur. Dia sudah melakukan semua ritual yang biasa dia lakukan sebelum tidur. Sekarang dia bergerak-gerak gelisah di tempat tidurnya yang besar. Deandra tidak pulang hari ini, seperti biasa. Dia sendirian dan diserang dilema yang berkecamuk dalam benaknya. Dia mencoba mempertimbangkan keputusannya. Apa yang akan Deandra lakukan kalau aku mengatakan aku sedanh hamil? Apakah dia akan membatalkan perceraian ini, kembali padanya dan mencoba semuanya dari awal? Atau dia tetap ingin menikahi Lia? batin Tatia dalam hati. Rasanya berjam-jam Tatia mencoba memejamkan matanya, menyingirkan sejenak dilemanya, hingga akhirnya dia bisa tertidur lelah.

Matahari mererobos masuk ke kamar Tatia melalui jendela kamarnya, jendela besar dengan tirai berwarna putih tulang yang sengaja dibiarkannya terbuka tadi malam agar angin segar dapat berembus masuk ke kamarnya yang terasa pengap walaupun kamar itu luas. Tatia ingin membuka matanya, tapi tak bisa. Kepalanya berdenyut-denyut, perutnya mual. Oh Tuhan jika ini gejala diawal kehamilannya kumohon jangan sekarang. Hari ini aku harus menghadapi hari yang penting. Aku harus terlihat tenang dan tegar. Aku takkan bisa melakukannya jika kondisiku sperti ini.
Dengan sekuat tenaga Tatia mencoba bangun dari tempat tidur kingsize-nya, kepalanya semakin berdentam keras, melawan. Pandangannya kabur. Dia berjalan pelan ke kamar mandi, berdoa semoga dengan mengguyur badanya dengan air dingin sakitnya akan sedikit berkurang. Belum pernah Tatia merasakan mandi yang menguras tenaga. Setelah menegenakan setelannya yang paling bagus, yang rasanya dia lakukan berjam-jam, Tatia turun ke dapur ingin membuat secangkir kopi. Tatia tidak memperkerjakan pembantu. Awalnya dia ingin menjadi istri super yang akan melakukan semua pekerjaan rumahnya sendiri. Mengurus suami dan rumah sekaligus. Tapi sekarang dia menyesali keputusannya. Dia merasa sendiri dan tak berdaya.

 ”Tatia, kamu baik-baik saja kan? Mukamu pucat sekali? ” Seperti biasa Deandra selalu bersikap baik, bahkan saat mereka harus memutuskan mereka akan bercerai atau tidak. Deandra selalu menjadi suami yang baik. Hanya satu yang tidak pernah dia bisa berikan pada Tatia. Cinta.
”Ya...ya aku baik-baik saja. Aku hanya .............” Tatia menatap Deandra. Akankah dia akan membatalkan perceraian ini kalau dia tahu kalau aku sedang hamil?Akankah dia mau melupakan kebahagiannya dengan orang yang dia cintai kalau dia tahu aku sedang hamil. Kalaupaun ya, akankah dia bisa mencintai aku?
”Deandra...aku.....”
”Maaf Tia, bisakah kita mempercepat semua ini, aku harus pergi ke dokter”
”Ke dokter? Kenapa? Kamu sakit?”
”Bukan, bukan aku. Tapi....”
Deandra diam, tidak tega menyebutkan nama wanita  itu. Tidak tega menyakitiku lagi.
”Lia” akhirnya kuselesaikan kalimat Deandra.
”Ada apa dengannya? Apa dia sakit?”
”Tidak, dia baik-baik saja. Dia hamil.”
Lia hamil. Lia mengandung anak Deandra. Anak yang sangat dia nantikan dari wanita yang sangat dia cintai. Dan aku juga hamil. Aku juga mengandung anak Deandra. Tapi Deandra tidak mencintaiku.
Kupandangi wajah Deandra. Wajahnya tampak sangat sedih, aku tahu dia begitu karena tidak ingin menyakitiku. Tapi di wajah itu juga ada banyak kebahagian. Banyak.
”Baiklah, kita selesaikan secepatnya.”
Tuhan, maafkan aku jika ini salah. Maafkan aku karena terlalu mencintainya. Dan maafkan aku karena terlalu egois yang menginginkan anak ini hanya untukku.
 

Senin, 10 Januari 2011

Hidup Yang Berbeda


Sudah hampir seminggu saya menjalani rutinitas yang benar-benar berbeda dari rutinitas yang selama ini saya jalani selama tiga tahun terakhir. Rutinitas dengan ritme lambat dan teratur. Awalnya saya sempat khawatir kalau saya tidak akan bisa melewatinya atau kalau di-alay-kan saya akan mati karena bosan dengan rutinitas ini. Tiga tahun terakhir saya terbiasa dengan ritme bekerja full time, dengan tekanan, masalah, sosialisasi dan sekarang saya harus berada di rumah, dengan hanya menjalankan pekerjaan rumah tangga (yang sempat saya remehkan tapi ternyata tidak semudah yang saya bayangkan). Awalnya saya sempat panik, berusaha menyusun berbagai rencana agar saya tak terlalu lama berada di situasi ini, tapi akhirnya saya belajar satu hal. Saya belajar menikmatinya. Saya berjanji pada diri saya untuk menikmati semua proses yang saya lalui dalam hidup saya (ini resolusi saya tahun ini). Ketika saya merindukan suasana kantor saya, merindukan tekanan pekerjaan saya, merindukan keriuhan teman-teman saya, bahkan merindukan makian atasan saya, saya belajar menikmati kerinduan itu. Ketika saya gelisah karena merindukan seseorang, saya belajar menikmati kegelisahan itu.
Saya benar-benar bisa menikmatinya sekarang. Menikmati kehidupan yang sangat teratur dan tanpa tekanan. Menikmati saat-saat ketika saya bisa sarapan dan makan malam bersama keluarga saya, atau hanya sekedar menonton berita di TV dan bahkan saya sangat menikmati melakukan semua pekerjaan rumah tangga.
Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi Tuhan memberikan apa yang kita perlukan. Saat ini mungkin Tuhan memberikan saya waktu untuk beristirahat sejenak sebelum saya memulai sesuatu yang jauh lebih menantang. Tuhan ingin saya keluar sejenak dari hingar bingar, hiruk pikuk dunia kerja bahkan dunia percintaan (hahay….). Dan saya benar-benar memerlukan waktu ini. Saya perlu mengistirahatkan tubuh, pikiran dan hati saya untuk sementara waktu.