Laman

Kamis, 28 Oktober 2010

Belief



"Some people do spend their whole lives together" (Anna - Nothing Hill)

Ingin sekali saya bisa percaya lagi kata-kata itu. Ingin sekali bisa seperti dulu, tak terlalu skeptis dan bisa lebih optimis. Badai kemarin telah benar-benar merubahku.......

Thank you for this storm. You did it man!! You realy take my belief in the existence of love, take my dream and my hope away!!!

Selasa, 26 Oktober 2010

Badai

Badaimu pasti telah berlalu. Lautmu telah tenang. Langitmu pun pasti telah berbintang. Kau bisa melaut dengan tenang sekarang. Senyum pasti tak pernah lekang dari wajahmu. 

Badaiku juga telah berlalu. Hanya saja lautku masih resah. Langitku pun belum masih gelap.

Biarlah......

Mungkin lebih baik begini. Agar aku tak mati rasa. Setidaknya aku masih bisa merasakan gelisah lautku dan pekat malamku. Badai telah mencabut salah satu indraku. Indra kepercayaanku. Mungkin kau tak akan pernah tahu apa saja yang telah badai ambil dariku. Kau tak akan pernah perduli. Karena badai ini adalah permainanmu......

Ingin sekali suatu hari nanti kau merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Bukan dendam hanya agar ingin kau tahu rasa ini.....


Senin, 25 Oktober 2010

Bulan


Langit malam ini indah. Beruntung aku masih bisa menikmati selimut bumi ini di tempat favoriteku. Bulan dan bintang. Dulu aku lebih memilih bintang ketimbang bulan. Tapi kini aku lebih menyukai bulan. Bulan lebih realistis. Lebih dinamis. Bentuknya tak pernah sama disetiap harinya. Selalu berubah hingga nanti akan kembali ke bentuk semula. Kadang sempurna, kadang hilang setengah, atau hanya seprempat. Di satu hari indah dan terang, di lain hari gelap menakutkan, atau redup tak jelas. Sama seperti hidup yang akan selalu berubah tapi kemudian semua kembali ke asalnya. 

Bintang statis. Sinarnya kadang terlalu memabukkan. Terlalu menyilaukan hingga membuat kita buta. Membuat kita tak bisa berhenti memujanya. 

Cinta
Malam
Bulan

Selasa, 05 Oktober 2010

Korean Movie Night


Jadi ceritanya berkumpulah kami penghuni kos Wisma Galuh kemarin malam. Setelah (seperti biasa) pembahasan tentang gosip-gosip terpanas seputar anak-anak kos untuk hari itu selesai dibahas tuntas, kami semua mulai memikirkan apalagi yang harus kami lakukan agar tidak menyia-nyiakan waktu kami yang sangatlah berharga kemarin malam. Nah setelah berbagai macam pertimbangan akhirnya kami memutuskan menonton film. Tapi kemudian muncul masalah, film apa yang harus kami tonton. Maklumlah kami ini termasuk movie freaks, jadi semua film baru dari hollywood sampai bollywood terbaru sudah kami tonton. Bahkan pernah sampai kami kirim testimoni yang berisi cap jempol kaki kami masing-masing ke produser-produser film agar memproduksi lebih banyak film secepatnya (ah yang ini agak lebay...). 

Setelah dilakukan pemungutan suara, akhirnya dihasilkan suara terbanyak untuk menonton film korea. Tapi ada masalah lagi (ah kali ini terlalu banyak masalah), film korea apa yang mau kami tonton. Perdebatan yang panjang pun tak dapat dihindari. Tapi kemudian setelah musyawarah mufakat akhirnya kami memutuskan menonton film korea yang agak jadul. Dirilis sekitar tahun 2004. 

Nah, akhirnya dimulailah korean movie night. Sebenarnya kami semua sudah pernah menonton film itu, tapi entah kenapa kami masih tetap ingin menontonnya kembali. Walhasil selang setengah jam kemudian efek film itu mulai tampak. Untunglah persiapan kami saat mulai menonton sangatlah matang. Camilan, bantal empuk dan yang paling penting adalah sekotak tisu. Jadilah malam itu kami semua nangis-nangis bombay, mewek-mewek bersama. Ya, inilah efek film korea yang paling kentara. 

Sebenarnya saya sendiri bukanlah penggemar fanatik film korea apalagi yang genrenya drama romantis. Tapi sebenarnya banyak sisi baik yang bisa didapat, setidaknya buat saya. Film korea bisa mengurangi kesinisan saya akan yang namanya "cinta", bisa sedikit mengembalikan saya akan kepercayaan bahwa cinta sejati itu ada. Karena saya bukanlah orang yang percaya akan adanya cinta mati, cinta untuk selamanya atau cinta-cinta lain yang digambarkan secara hiperbola. Saya penganut paham "boyaisme". Tapi saya sadar  bahwa terkadang kadar paham itu terlalu besar dalam diri saya. Dan itu tidak baik. Itulah sebabnya saya perlu penetralisir. Dan film-film korea tersebut menjadi pilihan saya. Lagipula film-film korea, menurut saya termasuk cukup realistis. Tak seperti jenis film lain, yang sebagian besar ending nya selalu bahagia, film korea banyak menyajikan ending yang tak pernah kita duga sebelumnya. Ending yang lebih realistis. 

Korean movie night ini masih bersambung. Nanti malam mungkin kami perlu membeli tisu extra lagi. Sebenarnya saat ini saya mungkin sangat perlu menonton jenis film ini, mengingat saya baru saja kehilangan seseorang (yang pernah bilang "apa bagusnya film korea?") yang menyebabkan kadar ketidakpercayaan saya akan "cinta" meningkat drastis. Jadi mungkin saya perlu lebih banyak penetralisir......

Selamat hari rabu dan selamat menonton film korea.....

Spasi

Baru juga satu hari tapi saya sudah sangat merindukan anda....
Hari ini saya banyak memutar kembali semua kenangan kita. Kenapa kita bisa sampai disini, kenapa kita terkadang bisa begitu saling menyakiti..
Dulu kita sangat bahagia saat keinginan kita tak banyak. Dulu kita bisa menikmati semua masalah kita bahkan menganggapnya tak ada. Kenapa kita tak bisa seperti dulu? Kenapa harus ada banyak keinginan?
Mungkin jeda ini kita perlukan. Mungkin spasi ini kita butuhkan hanya untuk manarik napas sebanyak yg kita perlukan. Menghirup udara yg dulu terasa semakin kita rasa kurang dan menyesakkan dada..........
aku masih berdiri disini, masih menuggumu, masih mengambil jeda sambil menghirup udara sepuasku.....

Jeda ini memiliki arti tersendiri buat saya, untuk memahami lebih dalam tentang rasa itu, ternyata saya rapuh. mudah2an saya bisa mengurangi bermain -main dengan hati orang. Lebih hati-hati.
Anak kecil lebih mudah menemukan kebahagiaan karena mempunyai lebih sedikit keinginan. lebih bisa memaknai masa "sekarang" nya. Saya suka dengan jiwa anak2 ituh.
Ini Adalah perjalanan. Bahkan jeda juga bagian dari perjalanan itu. Nikmatilah!

Percaya atau tidak saya menikmatinya....
Hari ini saya menghabiskan waktu saya seperti anak "abg" ....benar benar "abg"..nongkrong seharian sama anak kos, tertawa, godain cowok (meminjam istilah mereka), nonton film rame-rame tidur pun rencananya rame-rame...
Ya, saya menikmatinya...walau kadang saat saya ingat kembali ada rasa hampa....saat saya tertawa saya belum bisa sepenuhnya tertawa, saat ada kejadian menarik atau pembicaraan yang ga penting dan menggelikan ingin sekali rasanya berbagi dengan anda, ingin sekali rasanya menertawakannya kembali dengan anda.
Jeda ini akan saya gunakan untuk mengumpulkan lagi hal ga penting yang suatu hari nanti bisa saya bagi dengan anda......saat kita tak lagi bergumal dengan begitu banyak keinginan....

Peramal paling jitu pun tidak bisa memastikan masa depan seperti apa. jadi aku tidak bisa berjanji.
Sebuah kesia-siaan ketika kita bermimpi, berandai – andai tentang masa depan disaat kita bisa menikmati setiap moment, setiap ‘sekarang’.  Mendengarkan lagu dari Ipod yang sama, menonton bola, pergi ke gunung, bercerita tentang sesuatu yang nggak penting, semua akan menjadi kenangan di masa depan — yang masih nggak ketahuan apakah akan kulewati dengan atau tanpa kamu.



"Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna jika tidak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tidak ada spasi??
Pegang tanganku tapi jangan terlalu erat, karna aku ingin seiring, bukan digiring."
( Filosofi Kopi by Dewi Lestari)

Senin, 04 Oktober 2010

Winter

The leaves were falling from the great oak at the meadow’s edge. They were falling from all the trees. One branch of the oak reached high above the others and stretched far out over the meadow. Two leaves clung to it’s very tip.

“It isn’t the way it used to be,” said one leaf to the other.

“No,” the other leaf answered. “So many of us have fallen off tonight we’re almost the only ones left on our branch.”

“You never know who’s going to go next,” said the first leaf. “Even when it was warm and the sun shone, a storm or a cloudburst would come sometimes and many leaves were torn off, though they were still very young. You never know who’s going to go next.”

“The sun seldom shines now,” sighed the second leaf, “and when it does, it gives no warmth. We must have warmth again.”

“Can it be true,” said the first leaf, “can it really be true, that others come to take our places when we’re gone, and after them still others, and more and more?”

“It really is true,” whispered the second leaf. “We can’t even begin to imagine it, it’s beyond our powers.”

“It makes me very sad,” added the first leaf.
They were silent a while.
Then the first leaf said quietly to itself, “Why must we fall?”

The second leaf asked, “What happens to us when we have fallen?”

“We sink down.”

“What is under us?”

The first leaf answered, “I don’t know. Some say one thing, some another, but nobody knows.”

The second leaf asked, “Do we feel anything, do we know anything about ourselves when we’re down there?”

The first leaf answered, “Who knows? Not one of all those down there has ever come back to tell us about it.”

They were silent again. Then the first leaf said tenderly to the other, “Don’t worry so much about it, you’re trembling!”

“That’s nothing,” the second leaf answered, “I tremble at the least thing now. I don’t feel so sure of my hold as I used to.”

“Let’s not talk any more about such things,” said the first leaf.

The other replied, “No, we’ll let it be. But — what else shall we talk about?” It was silent, but went on after a little while. “Which of us will go first?”

“There’s still plenty of time to worry about that,” the other leaf said reassuringly. “Lets remember how beautiful it was, how wonderful, when the sun came out and shone so warmly that we thought we’d burst with life. Do you remember? And the morning dew and the mild and splendid nights…”

“Now the nights are dreadful,” the second leaf complained, “and there is no end to them.”

“We shouldn’t complain,” said the first leaf gently. “We’ve outlived many, many others.”

“Have I changed much?” asked the second leaf shyly.

“Not in the least,” the first leaf said. “You think so only because I’ve gotton to be so yellow and ugly. But it’s different in your case.”

“You’re fooling me,” the second leaf said.

“No, really,” the first leaf answered eagerly, “believe me, you’re as lovely as the day you were born! Here and there may be a little yellow spot. But it’s hardly noticeable and makes you only more beautiful, believe me.”

“Thanks,” whispered the second leaf, quite touched. I don’t believe you, not altogether, but I thank you because you’re so kind. You’ve always been so kind to me. I’m just beginning to understand how kind you are.

“Hush,” said the other leaf, and kept silent itself, for it was too troubled to talk anymore.

Then they were both silent. Hours passed.

A moist wind blew, cold and hostile through the treetops.

“Ah, now,” said the second leaf, “I…” Then it’s voice broke off. It was torn from it’s place and spun down.
Winter had come.

From “Bambi, a Life in the Woods”

Jumat, 01 Oktober 2010

Sawah

“Kok hari ini kamu cantik Jeng?”

“Alaaah Mas iki…berarti kemaren-kemaren saya ngga cantik dong?”

“Lha emang ngga kan..?” (tampang dibego-begoin)

“Argghhhh….Mas iki piye toh? Udah ngga pernah romantis, mbo ya jangan terlalu jujur gitu!” (gerakan tangan memuku-mukul dan mencubit-cubit dengan sasaran pinggang)

“Eeeehhh….sakit to Jeng….mbo ya jangan nyubit-nyubit gitu…jangan di pinggang dong Jeng..”

“Biar aja…lha wong Mas sendiri bikin kesel..!!”

“Yo wis…yo wis…yang penting kan Mas suka sama Diajeng to?”

“Alaaahhh…” (mesem-mesem)

“Eh…Jeng makasi ya udah bantuin nyari rumah... .Udah nunjukin rumah ini”

“Oh..iya Mas..Ora pa pa…Dari dulu kan Mas suka sekali daerah ini. Pengen banget punya rumah di daerah sini.”

“Iya..Jeng…Memang dari dulu ingin punya rumah disini. Suasananya itu lho Jeng..Lingkungannya itu lho..” (menjelaskan dengan gerakan tangan)

“Iya Mas…Nanti kalo Mas udah pindah ke rumah ini, Diajeng harap ini benar-benar jadi tempat  Mas pribadi ya Mas..Become your own privacy gitu..”

“Iya Jeng…”

Kali ini episode tentang sawah. Karena percakapan ini kita lakukan di depan hamparan sawah di dekat rumah yang kau tinggali sekarang. Dulu masih sawah. Tapi sekarang sudah menjadi perumahan baru. Sawah itu sudah tak ada. Sayang aku tak sempat mengabadikan sawah itu dalam bingkai foto seperti bingkai foto batu yang telah aku abadikan. Saat itu kita berkhayal (seperti biasa) membeli satu kaplingan rumah yang akan dibangun diatas sawah itu. Disebelah mana lokasi yang kita inginkan, model rumah, design interiornya, sampai akhirnya kita membahas yang ngga penting lagi.

Ah…tak terasa episode tentang sawah ini sudah 2 bulan yang lalu. ..Saat kau akan memulai kehidupanmu di tempatmu yang baru…

“I don’t want to be your whole world, I just want to be a part of your life…...”

“Woww…I like your words.. Jeng”